Jumat, 21 Oktober 2011

Dampak Jangka Panjang Akibat Pertambangan Timah Bangka Belitung


Dampak Jangka Panjang Akibat Pertambangan Timah Bangka Belitung

Aktivitas Tambang Inkonvensional banyak terjadi sejak tahun 2000-an. Awalnya dipengaruhi karena jatuhnya harga timah di pasar dunia. Potensi galian tambang timah dianggap tidak ekonomis apabila hanya dikerjakan oleh PT. Timah.Tbk sendiri, karena itu kemudian diserahkan kepada kontraktor lokal (tambang karya/TK).
Pada mulanya pengelola Tambang Inkonvensional melakukan kegiatan di dalam areal kuasa penambangan PT. Timah.Tbk dan apabila sudah habis mereka bisa pindah ke tempat lain yang ditentukan oleh PT. Timah.Tbk. Akan tetapi, setelah masuk di era reformasi, dari tahun 1998 ke atas, masyarakat mulai mencari-cari lokasi di luar areal kuasa penambangan PT. Timah.Tbk sehingga jumlah TI berkembang pesat menjadi ribuan. Mereka kini diluar kontrol karena menambang kebanyakan diluar areal kuasa penambangan PT. Timah.Tbk.
Kegiatan pertambangan inkonvensional timah di Pulau Bangka dalam setahun terakhir makin memprihatinkan. Seiring dengan itu, pembangunan smelter (pabrik pengolahan menjadi timah balok) juga mengalami peningkatan sangat tajam. Maraknya pembangunan smelter baru  menjadi ancaman besar terjadinya pencemaran lingkungan. Hal ini dikarenakan smelter-smelter baru tersebut kurang mempertimbangkan sisi lingkungan. Kerusakan akibat kegiatan penambangan ilegal dengan mudah ditemukan, seperti di kawasan Kecamatan Merawang dan sekitarnya.

Selain itu, sektor-sektor ekonomi lain di Babel mati atau telantar karena masyarakat beralih ke sektor penambangan, dan lahan pertanian, perkebunan bahkan juga perikanan beralih fungsi jadi areal penambangan. Dari aspek ekologis, TI menjadi penyumbang terbesar kerusakan lahan dan hutan yang terbesar. Industri pertambangan pada pasca operasi akan meninggalkan banyak warisan yang memiliki potensi bahaya dalam jangka panjang, antara lain; Lubang tambang (Pit), Air asam tambang, dan Tailing.

Lubang Tambang. Sebagian besar pertambangan mineral di Indonesia dilakukan dengan cara terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa di bekas areal pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air lubang tambang mengandung berbagai logam berat yang dapat merembes ke sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah sekitar. Potensi bahaya akibat rembesan ke dalam air tanah seringkali tidak terpantau akibat lemahnya sistem pemantauan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut. Di pulau Bangka dan Belitung banyak di jumpai lubang-lubang bekas galian tambang timah (kolong) yang berisi air bersifat asam dan sangat berbahaya.

Air Asam Tambang. Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang 2000 tahun setelahnya. Air asam tambang baru terbentuk bertahun-tahun kemudian sehingga perusahaan pertambangan yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah menganggap bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam tambang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi terhadap air akan sulit melakukan tindakan penanganannya.

Tailing. Tailing dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah yang sangat besar. Sekitar 97 persen dari bijih yang diolah oleh pabrik pengolahan bijih akan berakhir sebagai tailing. Tailing mengandung logam-logam berat dalam kadar yang cukup mengkhawatirkan, seperti tembaga, timbal atau timah hitam, merkuri, seng, dan arsen. Ketika masuk kedalam tubuh makhluk hidup logam-logam berat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan.

Akibat aktifitas liar ini, banyak program kehutanan dan pertanian tidak berjalan, karena tidak jelasnya alokasi atau penetapan wilayah TI. Aktivitas TI juga mengakibatkan pencemaran air permukaan dan perairan umum. Lahan menjadi tandus, kolong-kolong (lubang eks-tambang) tidak terawat, tidak adanya upaya reklamasi/ rehabilitasi pada lahan eks-tambang, terjadi abrasi pantai dan kerusakan cagar alam, yang untuk memulihkannya perlu waktu setidaknya 150 tahun secara suksesi alami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar